ORIGINALITAS vs BUDAYA

July 11, 2008

sebuah hipotesa

Originalitas

Yang dimaksud dengan ‘originalitas’ di sini adalah kapasitas manusia dalam mengungkapkan tingkah laku lewat rasa, sikap batin dan alam pikirannya secara orginal atau asli. Hal itu dilakukan demi nilai luhur kehidupannya tanpa harus dicemari oleh berbagai pamrih sempit atau ancaman atau risiko lain yang bakal ditanggungnya.

Para cerdik pandai, pemimpin dunia, ulama, aulia, pujangga, seniman dan filosof menyebut sebagai ‘identitas diri’ atau ‘originalitas diri’ atau ‘jati diri’. Ada juga yang menyebutkan kembali ke ‘sangkan paraning dumadi’ atau kembali ke ‘dari mana datang dan asal muasal kejadian’-nya, ada juga yang bilang ‘mengingat kembali ke leluhur’ atau ‘kembali kepada akar’-nya dan berbagai ungkapan lainnya.

Dunia hidup, berkembang dan berubah berkat orang-orang yang memiliki originalitas. Para nabi, pionir, penemu, pelopor dalam berbagai ragam kehidupan adalah orang-orang yang telah nyata menampilkan originalitas-nya. Mereka menempuh cara hidup yang beda pada jamannya dan membuat perubahan serta meninggalkan kemapanan untuk meraih nilai-nilai yang hakiki. Dan siap menanggung berbagai risiko, diantaranya menerima hinaan atau cacian, bahkan mengorbankan jiwa saat mengedapankannya.

Diperlukan citra dan ukuran yang jelas dan penuh tanggung jawab untuk mengidentifikasikannya. Ilmu sejarah, fisika, seni, sosial politik, agama, tata negara, ekonomi dan teknologi memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Bahkan orang per-orang berkemungkinan berbeda dalam mengartikannya. Tentu saja hal itu sah dan sekaligus menjadi bagian dari ungkapan originalitasnya.

Meraih originalitas adalah puncak perjuangan hakikiah moral manusia. Originalitas atau ‘jati diri’ bukan sekedar ditandai dengan ‘baju batik’ atau bangsa ‘yang ramah dan penuh senyuman’. Originalitas adalah upaya pemahaman melalui rasa, batin dan pikir secara dinamis dan tanpa henti terhadap makna hidup dan kehidupan. Originalitas akan menghasilkan tampilan akhir manusia selaku mahkluk kosmos yang lapang tanpa batas kecuali originalitasnya itu sendiri.

Orang yang mendekati Affandi atau Salvador Dali, mereka hanya menangkap abunya bukan apinya. Apinya tetap ada pada Affandi atau Dali selaku pemegang originalitasnya.

Orang lain dipastikan berbuat lebih banyak pada Amerika dari pada Columbus. Namun apinya tetap pada Columbus selaku penemunya. Kecuali bagi mereka yang membangun Amerika dengan originalitasnya sebagaimana yang dilakukan oleh Abraham Lincoln atau Andy Warhol.

Untitled (Skull), 1981, Jean-Michel Basquiat

Untitled (Skull), 1981, Jean-Michel Basquiat

Nobel hanya diperebutkan di antara orang-orang yang memiliki originalitas. Bibit-bibit originalitas terserak di persada jagad ini. Tak perlu menjadi Paris terlebih dulu untuk melahirkan Paul Gauguin. Tak perlu menjadi Jepang untuk melahirkan Kenzo Tange. Atau tak perlu menjadi miskin dan kumuh terlebih dulu untuk menjadi Basquiat. Setiap mahkluk dalam kosmos ini, dari debu hingga galaxy, dilatar belakangi dengan originalitas masing-masing.

Budaya

Pandangan Optimistik

Sungguh sulit membayangkan komunitas manusia tanpa budaya. Ibarat medium minyak dalam cat pelukis yang menyatukan berbagai warna, budaya menyatukan berbagai perbedaan maksud, keinginan dan kebutuhan tentang segala hal hingga memberikan kelengkapan, kelancaran, kenyamanan dan kesenangan dalam komunitas manusia.

Berbagai produk budaya dirasakan sangat bermanfaat. Teknologi pangan, transportasi, komunikasi, informasi, kesehatan dst. merupakan produk nyata yang telah memberikan kemudahan bagi manusia.

Demikian pula kehidupan politik, ke-agama-an, sosial dan ekonomi tidak bisa dilepaskan sebagai produk budaya dan telah memberikan kelapangan dalam menunjang kebutuhan manusia.

Pendek kata mustahil rasanya manusia bisa bertahan hidup tanpa budaya. Dengan budaya orang bisa meraih kesenangan, harapan dan cita-citanya. Dengan budaya orang bisa mengaktualisasikan dirinya. Bahkan pameo mengatakan, manusia yang tidak berbudaya adalah ‘barbar’.

Pandangan Pesimistik

Pada ghalibnya budaya adalah sebuah konvensi. Yang adalah berbagai bentuk kesepakatan antar manusia. Sebagaimana bentuk kesepakatan, pasti di sana terjadi berbagai kompromi yang berbuntut lahirnya persamaan atau ‘keseragaman’. Dalam perkembangannya, budaya menjadi sistem dimana aspek-aspek kebutuhan hidup saling berpaut dan terikat satu dengan yang lain hingga membentuk kesatuan dalam rangkaian jaringan ‘keseragaman’ yang besar, sesuai dengan maksud dan tujuannya, untuk membuat hidup manusia hidup dalam kebersamaan, lebih nyaman, aman, damai dan mapan.

Di dalam sebuah sistem orang tidak bisa ‘semau gue’. Seluruh tingkah lakunya dikendalikan atau dikontrol oleh sistem. Demikianlah prinsip dasar dari budaya dunia ini. Sebagai konsekwensinya, untuk menjadi manusia berbudaya seseorang harus penuh toleransi. Artinya mesti rela mengikis dan melepas sebagian dari dirinya untuk kemudian menambal sebagian lain dengan material dari luar dirinya hingga bisa ‘seragam’ dengan sesamanya. Oleh karenanya, boleh jadi, profil manusia berbudaya itu adalah manusia cacat dan penuh tambal sulam di sana sini.

Banyak produk budaya teknologi yang memberikan kesenangan dan bermanfaat bagi kebutuhan manusia sebagaimana dalam bidang pertanian, transportasi, komunikasi, informasi yang telah banyak memberikan kemudahan bagi manusia. Namun di samping manfaat, banyak produk budaya lain yang sejak awal berkonsep ‘memaksakan kehendak’. Bidang sosial, politik, ke-agamaan dan ekonomi banyak dijadikan ajang sebagian orang ataupun golongan untuk mempertahankan hegemoninya dengan cara ‘memaksakan kehendak’ tersebut.

Ideologi politik, ritual keagamaan, simbol-simbol sosial, standart kemakmuran atau kemiskinan (cadangan devisa, GNP, GDP dst.) merupakan ungkapan dominasi budaya pada pasar, untuk menggiring manusia agar berperasaan sama, berbatin sama, berpikir sama dan akhirnya bertindak sama sesuai kehendak seseorang atau segolongan orang.

Dalam dunia ‘memaksakan kehendak’, tak ada lagi ruang untuk ber-identitas diri atau originalitas. Kalau toh nampaknya ada hal itu hanyalah ilusi dari identititas yang terpasung. Dalam kasus macam ini budaya telah mencekal tujuan hakiki manusia. Budaya menjadi sarana yang efektip untuk menenggelamkan originalitas manusia.

Sebagai misal, sejak 5 dasawarsa terakhir terasa banget manusia dunia dibentuk dan kendalikan oleh para pemodal, pedagang dan tengkulak. Manusia diprogram menjadi pasar mereka. Melalui tehnologi informasi yang dahsyat (TV, radio, koran) mereka terus menerus bilang akan ketinggalan dan tidak berbudaya apabila tidak mengenal dan memakai produk mereka. Mereka adalah virus yang membuat jaringan yang muncul di mana-mana. Mereka ada di angkasa, puncak gunung hingga dasar lautan. Mereka bisa merubah diri (metamorphose) untuk mendekati dan memasang perangkapnya.

Dalam konteks ini budaya secara luar biasa didukung oleh ‘powership’ dunia. Budaya itu berkembang menjadi racun, bius, candu dan pencuci otak bagi manusia dalam upaya menghancurkan kehidupan hakikiahnya.

Originalitas versus Budaya

Sarat dengan konflik kepentingan

Perang dingin maupun perang panas antar negara atau bangsa sesungguhnya adalah perang budaya. Perang untuk demokrasi, hak azasi manusia, perdagangan bebas, jilbab, coca cola, narkoba, terorisme dan ratusan budaya atau konvensi lainnya.

Hal ini hanya membuktikan bahwa budaya tidak menyelesaikan masalah. Bahkan menciptakan banyak masalah. Dengan kedok budaya mereka berperang memperebutkan pasar. Dan pasar adalah identik dengan ‘keseragaman’.

Budaya cenderung mapan, menolak pembaruan dan perubahan. Budaya ingin menjadikan manusia seperti ‘semur daging’ yang sarat dengan bumbu hingga hilang rasa originalitas dagingnya.

Akhirnya originalitas selalu dipandang mengancam dan merugikan budaya. Dan akibatnya dalam banyak hal originalitas selalu terberangus oleh budaya sebelum beranjak bangun.

Originalitas dalam Karya

Paham, aliran atau mahzab berlangsung pada banyak disiplin budaya. Maknanya selalu mengindikasikan adanya ‘keseragaman’. Para pendahulu, dengan dukungan budaya lingkungannya (politik, industri dan perdagangan), sengaja, sadar atau tidak, menciptakan bayang-bayang dan pengikut. Oleh karenanya bagi mereka yang mengejar identitas diri atau originalitas atau kepribadian tentu akan menjauh dari hal-hal tersebut.

Ironisnya banyak para pemilik identitas atau originalitas justru melakukan kesalahan berulang dengan cara membangun kemapanan baru. Mereka mencari pengikut, menyebar luaskan ajaran dan membangun mahzab. Mereka menebar racun, bius atau candu dan mencuci otak orang-orang dan kemudian menempatkan dirinya sebagai dominator dan pusat orientasi.

Hal yang sama juga terjadi pada dunia kesenian. Ribuan seniman tercekat dalam kubangan lumpur budaya yang kental. Mereka terbius dan sibuk menikmati kemapanan gaya, aliran atau mahzab hingga tak akan pernah meraih originalitasnya dan merubah dunia.

Jakarta, Januari 2005

Handogo S.

2 Responses to “ORIGINALITAS vs BUDAYA”

  1. ruben Says:

    mbak/mas hehehe… wordpressnya pasangi iklan biar dapat duit aku liat di search engine blog saudara lumayan teratas , ni link program bisnis yang menyediakan iklan dan kita dapat bayaran
    http://kumpulblogger.com/signup.php?refid=6719 sekarang wordpress juga bisa bergabung , dulu hanya blogger

  2. handogo Says:

    Hi there, saya udah coba sign in di kumpulblogger, mekanisme kita bisa earning dari pemasang iklan gimana? tq


Leave a comment